Smart, Progresif, and Transformative

selamat datang di Buletin 73, media ini sebagai informasi dan tukar pengetahuan antar sesama manusia. siapa saja yang berminat menulis ataupun memberikan suatu informasi yang bermanfaat, layangkan tulisan anda ke "buletin73@gmail.com"
salam Editorial.
(bagi yg Upload tolong tulisan yg akn di upload Rata kanan n Kiri, dan dirapikan, Editorial)
Kami bukan dewa, bukan sang pencipta, jadi kritik Kami!!!

Senin, 30 Juni 2008

Pajak untuk Rakyat atau Pajak yang Merakyat?

oleh : Muzaiin Arfa Satria

Sosialisasi yang kian gencar dilakukan oleh direktorat jendral pajak indonesia bisa kita lihat dimana-mana. Mulai dari iklan elektronik maupun sosialisasi terjun ke lembaga-lembaga pendidikan kampus. Sekedar mengingat tentang iklan dari Dirjen Pajak dengan motto “Apa kata dunia??” sebuah iklan yang menyesatkan dan kalau kita menganalisis secara cermat tidak ada logisme antara Pajak dan motto tersebut. Apa hubungannya antara membayar pajak dan perkataan dunia. Namun tulisan ini bukan mengkaji permasalahan iklan tersebut, hanya selayang pandang atas penggunaan bahasa dalam iklan yang akhir-akhir ini semakin menyesatkan dan tidak mendidik.

Pajak untuk Rakyat. Kata ini tepat digunakan untuk mengkaji secara fungsional dan struktural mengapa diciptakannya pajak di sebuah negara. Pajak didapatkan dari sistem perekonomian yang diciptakan oleh suatu negara dengan fungsi untuk mensejahterakan rakyat, baik itu berupa pembangunan fisik maupun non fisik. Secara garis besar pajak juga berfungsi sebagai pendapatan negara yang nantinya juga diperlukan untuk subsidi di setiap bidang yang diperlukan dalam suatu negara. Di Indonesia secara signifikan masyarakat belum dapat merasakan manfaat pajak itu untuk apa? Dan lebih parah lagi banyak yang menanyakan sebenarnya pajak itu berguna atau tidak. Ini disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai pajak dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap perpajakan di Indonesia sendiri. Kurangnya pengetahuan dan ketidakpercayaan nantinya akan menimbulkan ketidaksadaran maupun acuh tak acuh akan pajak tersebut. Ketidakpercayaan ini disebabkan oleh sifat-sifat manusia sendiri akan sebuah pandangan mengenai objek yang dilihatnya, seperti misalnya manusia tidak percaya akan sebuah bahaya merokok karena manusia (konsumen rokok) belum merasakan dampak dari bahaya nikotin yang langsung dirasakan, atau misalnya manusia yang terkena paku dikakinya lantas dia berkata “aduh” merasakan sakit bukan kepalang, yang kemudian manusia tersebut akan lebih berhati-hati dalam berjalan dengan menggunakan alas kaki. Ilustrasi diatas secara esensi mengemukakan bahwa untuk mencapai kesadaran akan sesuatu hal, manusia harus merasakan sendiri baik berbentuk pengalaman, pencarian (keingintahuan) ataupun secara reflektif. Dalam konteks pajak, dimana pertanyaan yang muncul adalah bagaimana menciptakan masyarakat yang sadar akan pajak, perlu adanya kesadaran yang mendorong seseorang untuk membayar pajak, baik itu dorongan dari pemerintah sendiri dan juga manusianya itu sendiri. Perlu adanya penekanan bahwa pajak dari rakyat untuk rakyat, bukan dari rakyat untuk kepentingan rakyat. Mengapa demikian, karena paradigma kepentingan rakyat cenderung bersifat suatu golongan atau kelompok, berbeda jika itu “untuk rakyat” kata ini cenderung bersifat universal dan menyeluruh. Ini sangatlah penting untuk menciptakan kesadaran pajak di masyarakat, memang ini hanya permasalahan teks bahasa namun hal ini juga merupakan suatu pola-pola untuk merubah paradigma yang muncul di masyarakat dewasa ini.

Pajak yang Merakyat. Seperti yang kita rasakan pajak di Indonesia merakyat sekali, hal ini dimaksudkan adalah pajak di Indonesia hampir di setiap sektor kehidupan tidak luput dari perpajakan. Dari dalam kandungan hingga seseorang nantinya meninggal dunia bisa dikatakan diselimuti pajak dalam kehidupannya. Dimulai dari biaya rumah bersalin dan perawatan yang terkena pajak maupun nantinya jika seseorang meninggal dunia baik proses pemakaman dan penggunaan lahan untuk makam. Yang lebih anehnya lagi adalah pajak 10% atupun lebih untuk setiap makanan, tempat hiburan, tempat makan, dll, yang dibebankan kepada konsumen. Jika kita kritisi terasa aneh mengapa hal tersebut dibebankan kepada konsumen tidak dibebankan saja kepada perusahaan yang mengelolanya. Sebagai ilustrasi “ seseorang yang makan di sebuah kafe yang dikenakan pajak 10% dengan rincian biaya makanan Rp. 50.000 dan pajak 10% dari 50.000 = 5000, jadi dia harus membayar Rp. 55.000 pada kafe tersebut. Mengapa harus dibebankan kepada konsumen pajak tersebut, toh yang di untungkan adalah kafe, seharusnya pemerintah mebebankan saja kepada kafe tersebut. Memang dalam sistem perpajakan kita adanya 2 batasan pajak, yaitu pajak daerah dan pajak pusat (nasional). Namun mengapa beban pajak yang dirasakan masyarakat secara tidak disadari ada dimana-mana. Seharusnya ada batasan-batasan yang jelas antara pajak individu dan pajak perusahaaan, karena beban yang dirasakan oleh individu oleh pajak sangatlah banyak, pajak pendapatan, pajak izin mendirikan bangunan (IMB), pajak tanah, pajak tahunan, pajak kendaraan bermotor, dll. Sangat banyak dan merakyat! Batasan pajak konsumen seharusnya di prioritaskan hanya kepada produsen ataupun perusahaannya saja. Karena pajak yang merakyat dan memiliki kecenderungan tumpang tidih memiliki aspek negatif bagi masyrakat sendiri.

Modernisasi Perpajakan. Dalam sosialisasi yang dilakukan oleh dirjen pajak mengemukakan adanya sebuah modernisasi secara struktural, perubahan yang diciptakan adalah sentralisasi pembayaran pajak, dan dengan munculnya respensitatif yang disediakan oleh perpajakan. Memang ini merupakan suatu kemajuan biokrasi di perpajakan yang dulunya sangat berbelit-belit. Adanya pajak online juga sangat membantu dalam mempermudah registrasi NPWP dan info-info pajak lainnya. Namun menurut pendapat penulis, modernisasi bukan hanya pada permasalahan material saja namun hal-hal non material juga harus di ubah. Secara fungsional tugas Dirjen pajak hanya sebatas mengumpulkan biaya untuk anggaran pemerintah, namun secara detail kemana biaya dikeluarkan dan kegunaannya untuk apa, perpajakan tidak mengetahuinya. Karena adanya departemen anggaran dan lain sebagainnya. Seharusnya perpajakan dalam modernisasi perpajakan perlu adanya wewenang yang lebih dari hanya mengumpulkan pajak sendiri, memang cukup sulit. Ini diperlukan untuk sosialisasi yang genjar dilakukan oleh perpajakan, sosialisasi bukan hanya bagaimana menumbuhkan kesadaran tapi ada feedback dari perpajakan dengan pengetahuan alokasi secara detail kemana pajak tersebut dikucurkan. Sebenarnya ini sangatlah penting untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pajak. Seperti yang dikemukakan diatas bahwa pajak memang untuk rakyat, dan janganlah pajak saja yang merakyat!

Tidak ada komentar: